Sign Up to MarketingCraft Newsletter for Free!

Thank you! Your submission has been received!
Oops! Something went wrong while submitting the form.

Seberapa Efektif Jingle Iklan dalam Meningkatkan Awareness Masyarakat?

By
Ricky D. Apriadi
 •
May 26, 2020

Rasanya sebagai konsumen, kita tidak asing lagi dengan sebuah iklan produk dengan lagu singkat (jingle) yang melatarbelakangi konten visualnya. Dan kalau dibuat secara menarik, jingle tersebut akan melekat dan membuat konsumen dapat menebak iklan suatu produk tanpa harus melihat visualnya secara utuh. 

Contohnya, salah satu jingle iklan mi instan – yang meski penayangan iklannya di televisi sudah lampau, namun masih terus diingat sampai berpuluh-puluh tahun kemudian. Atau suatu produk roti, dengan penetrasi ke household melalui ­penjual kelilingnya, mereka menyuguhkan jingle menggunakan pengeras suara gerobak yang tentunya akan menancap di telinga para konsumennya.

Pada penyebaran jingle, cara sederhana pun bisa besar efeknya. Salah satu yang cukup berhasil misalnya, susu murni KPBS Pangalengan dengan jingle "KPBS Pangalengan", meski nama produknya terdengar kurang populer, namun hampir semua orang mengenal brand ini.   

Dalam membuat jingle, durasi lagu sebenarnya bukanlah hal yang utama, tetapi yang terpenting, lagu itu haruslah catchy. Tidak perlu ribet untuk urusan suara, sederhana namun tetap membekas di ingatan audiens (earworm). 

Tapi apakah jingle di dalam iklan merupakan hal yang penting bagi para brand? Di dalam brand management, tujuan utama yang paling mendasar adalah tercapainya Awareness di benak audiens. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, brand bisa memanfaatkan jingle yang catchy supaya pada saat konsumen terpikir untuk membeli produk tertentu, nantinya akan teringat dengan jingle iklan tersebut dan menjadi pertimbangan calon konsumen untuk membeli produk yang bersangkutan ketika dihadapkan pada pilihan produk yang serupa. 

Baca Juga: Memahami Apa Itu Content Marketing

Tentunya kita sudah mengetahui bahwa setiap harinya, ada ribuan produk yang saling berlomba untuk menarik perhatian para audiens. Dan menurut Morrisan dalam bukunya Periklanan Komunikasi Pemasaran Terpadu (2015 : 98), konsumen menerima stimuli yang terlampau banyak setiap harinya, dan secara rata-rata mungkin telah dibanjiri oleh ratusan, bahkan ribuan iklan per hari. Karenanya, konsumen akan menyaring sebagian stimuli tersebut sebab tidak dapat menanggapi stimuli yang terlampau banyak.

Maka dari itu, timbul persaingan yang ketat dari para pemasar untuk mengekspos informasi kepada konsumen. Persaingan ini, membuat konsentrasi tanpa terganggu (attention span) konsumen terhadap informasi terus menurun. Situasi tersebut bagi konsumen disebut dengan attention desaturated (Untung, 2019).

Kalau kita berkaca melalui working memory, otak manusia hanya mampu menghafal dengan cepat tujuh kurang dua (7-2) atau tujuh tambah dua (7+2) informasi dalam waktu yang bersamaan. Manusia cenderung akan jenuh terhadap pattern eksplorasi informasi terhadap suatu iklan. Karena itu, kini konsumen lebih cenderung memerhatikan stimuli yang berhubungan dengan kebutuhannya saja (Belch & Belch, 2015). Banyak sekali informasi yang tidak “worth of paying attention” sehingga otak dapat lebih selektif mengenali informasi yang benar-benar layak diperhatikan.

Melalui iklan yang berbasis jingle, dapat menunjukkan bahwa otak dan working memory seseorang lebih mudah untuk menangkap sesuatu yang menarik, sederhana, dan dengan pola yang berulang-ulang. Karena itu, banyak brand yang memanfaatkan penggunaan jingle ini agar dapat memicu konsumen untuk menerapkan fungsi autoplay dalam otaknya sehingga memudahkan mereka untuk mengingat iklan produk yang ditawarkan. 

Misalnya, sebuah produk sampo membeli copyright sorang penyanyi sebagai nada lagu mereka (contoh lagu Unwritten yang dinyanyikan Natasha Bedingfield). Lagu tersebut otomatis menancap di ingatan konsumen secara terus-menerus dan teridentifikasi sebagai produk sampo tanpa harus mengetahui siapa penyanyinya. Dan keadaan di mana otak otomatis mengingat tanpa diperintah dan kerap terngiang-ngiang akan lagu yang didengarnya berkali-kali ini, dapat juga disebut sebagai earworm

Beberapa teori mengungkapkan secara sederhana bahwa earworm terjadi karena terdapatnya kesan melodi yang memuncak, kemudian turun dan membuat otak kita menginginkannya kembali. Seperti cara kerja otak untuk mampu bertahan dengan mengisi celah yang kosong, maka earworm hanya memainkan sepotong bagian dari lagu, tidak seluruhnya, biasanya hanya digunakan bagian refrain-nya saja atau banyak yang menyebutnya dengan sebutan lain, seperti: imagery repetition, involuntary musical imagery, dan stuck song syndrome.

Jingle memang memiliki kekuatan untuk "memaksa" produk masuk ke dalam benak konsumen. Namun, harus dimengerti pula bahwa earworm hanya akan menyentuh komponen awareness dengan mendorong familiarity saja/menjadi familier dengan produk yang bersangkutan. Meskipun dapat berpengaruh pada "keinginan untuk membeli", tetapi familiarity ini seringkali sulit menembus alasan rasional untuk konsumen sampai berhasil berujung ke pembelian produk.

Baca Juga: Media yang Tepat untuk Meningkatkan Brand Awareness

Namun demikian, jingle memang bisa membuat masyarakat lebih mudah untuk mengingat suatu brand. Walau memiliki dampak yang mungkin tidak terlalu besar terhadap penjualan, tetapi ketika audiens ingat pada suatu jingle, produk yang membekas di ingatan mereka ini akan menjadi salah satu opsi tatkala datang keinginan untuk membeli produk baru.

You must be a premium member to view the full content

Sorry, but the rest of this article is for our Premium Members only. To gain access to this content and many more benefits, subscribe below!

Asupan Marketing Mingguan

Gratis

Artikel-artikel marketing terpercaya

-
-
-
Dapatkan gratis

Langganan Premium

US$ 10 / bulan

8+ tiket webinar marketing gratis setiap bulan
Semua siaran ulang tutorial, diskusi & wawancara
Panduan & riset terdepan di industri
Penawaran eksklusif dari brand & Event VIP
Artikel-artikel marketing terpercaya

Related articles