Pada prinsipnya, native advertising dan konten bersponsor memiliki bentuk yang sama, yaitu materi promosi yang tersamar di antara konten dalam situs web atau blog, dan keduanya sama–sama tidak mengganggu user experience. Namun yang membedakan adalah cara native advertising dan konten bersponsor menyampaikan informasi.
Native advertising adalah advertorial di era digital, dengan bentuk yang beragam seperti, banner, artikel, konten multimedia, dan lain-lain. Pesan promosi dari konten tersebut isinya berusaha untuk meyakinkan konsumen untuk melakukan action, misalnya membeli produk brand terkait.
Baca juga: Apa itu Native Advertising?
Menariknya, dalam melakukan native advertising ini tidaklah harus selalu dengan bujet besar, tetapi dapat dilakukan dengan dana yang lebih efisien namun tetap efektif bagi perusahaan yang melakukan native advertising. Beriklan dengan bujet kecil masih tetap lebih baik daripada tidak beriklan sama sekali.
Berikut ini 5 tips untuk mengelola budget native advertising, agar efektif dan efisien.
Setiap kampanye pemasaran haruslah memiliki objektif yang dapat diukur keberhasilannya secara kuantitatif, begitu pula dengan kampanye native advertising, yang merupakan salah satu strategi dari keseluruhan kampanye pemasaran perusahaan.
Karena itu, Anda harus menentukan tujuan dari kampanye native advertising yang dijalankan, misalnya meningkatkan brand awareness, menaikkan penjualan, dan lain sebagainya. Sekalipun tujuan dari kampanye native advertising itu bersifat kualitatif, tetapi harus bisa diukur dengan ukuran kuantitatif.
Besarnya bujet pemasaran secara keseluruhan, termasuk bujet native advertising di dalamnya, dapat ditentukan sebagai persentase dari nilai penjualan yang diharapkan; 6% sampai 12% dari nilai penjualan per tahun merupakan bujet yang wajar untuk pemasaran.
Sebagai contoh, jika Anda menetapkan target penjualan tahun ini senilai Rp1 milyar, maka besarnya bujet pemasaran dapat ditentukan antara Rp60 juta sampai Rp120 juta untuk setahun.
Setiap jenis konten memiliki rata-rata biaya produksi yang berbeda. Konten berupa foto atau gambar 2 dimensi memiliki biaya produksi paling rendah dibandingkan jenis konten lainnya. Sedangkan video, biaya produksinya terbilang paling mahal. Sementara, artikel memiliki biaya produksi menengah dibandingkan keduanya.
Apabila Anda memiliki dana marketing yang kecil, sebaiknya fokus menggunakan konten gambar dua dimensi dan artikel untuk kampanye native advertising Anda. Kalau Anda memiliki bujet yang cukup besar, maka bisa gunakan semua jenis konten agar bisa mendapatkan jangkauan audiens yang lebih luas.
Konten yang bagus namun tidak dipromosikan sama saja seperti mobil sport mewah tanpa bahan bakar.
Maka itu, jangan hanya fokus pada memproduksi konten sebaik mungkin, namun mengesampingkan aktivitas dan usaha untuk mempromosikan konten tersebut. Menjaga keseimbangan antara memproduksi konten dan mempromosikan konten menjadi hal yang penting.
Seandainya bujet pemasaran native advertising Anda senilai Rp100, maka minimal Rp50 harus Anda gunakan untuk mempromosikan konten yang telah dibuat.
Dalam mempromosikan sebuah konten yang telah dibuat, Anda juga bisa memanfaatkan search engine dan/atau media sosial.
Apabila budget native advertising tergolong kecil atau menengah, Anda juga bisa melakukan repurpose konten lama untuk menghemat biaya produksi. Dengan melakukan repurpose, Anda dapat menghemat biaya pembuatan konten hingga minimal 50% untuk sebuah konten.
Baca juga: Tips Mengolah Konten Lama untuk Kegiatan Repurpose yang Efektif